MENGUAK SEJARAH MIE AYAM MENJADI MAKANAN FAVORITE DI INDONESIA

Mie ayam adalah jajanan rakyat yang semakin banyak di jual di perkampungan. Walaupun demikian, mie ayam adalah jajanan sehat serta bergizi. Terkecuali enak, makanan ini mempunyai kandungan gizi yang terbilang komplit, dari mulai karbohidrat, protein, dan gizi yang didapat dari sayuran pelengkap mie ayam.

Mie Ayam aslinya dari Cina Selatan terutama dari daerah-daerah pelabuhan seperti Fujian dan Guandong. Setelah gerakan besar imigrasi orang-orang Arab dan Cina pada 1870 ke Jawa karena politik keterbukaan imigran Pemerintahan Hindia Belanda maka berkembang kantong-kantong pemukiman penduduk timur asing. Orang Belanda bilang `Vreemde Oosterlingen’.

Meledaknya peningkatan penduduk dari Cina Selatan ini menambah preferensi selera makan. Apalagi dalam budaya cina peranakan terkenal dengan budaya menikmati hidup, artinya `Elo kalo makan jangan tanggung-tanggung yang banyak dan enak sekalian’. Bagi kaum peranakan cina kerja habis-habisan harus diganti dengan makan enak dan hidup nyaman. Nah dari filosofi hidup enak makan enak lahirlah mie ayam ini.



Perkembangan mie ayam tak terlepas dari gerakan besar masakan `caudo’. Lidah kita menyebutnya soto. `Caudo’ melanda nusantara terutama pesisir Jawa setelah habisnya Perang Diponegoro 1825-1830. Awalnya `caudo’ hanya dikenal di Lamongan dan Kudus. Jenis caudo ini bening karena mengambil filsafat `wening ing ati’ atau beningnya hati. Tapi lama kelamaan kuah soto Kudus dan Soto Lamongan tidak sebening di awalnya, karena dapat ketambahan bumbu-bumbu (terutama `koya’ terbuat dari udang tumbuk seperti ebi). Mungkin juga karena orang Lamongan dan Kudus hatinya sudah nggak bening he he

Gerakan Soto Kudus dan Lamongan pada 1932 semakin besar pada zaman pemogokan buruh kereta api di Surabaya masuk ke kampung di Surabaya seperti Gundih (di sini rumah Om saya), Darmo, Waru, Ambengan dan lainnya. Dari situ lahirlah soto Waru, soto Sulung, soto Ambengan, dan yang paling fenomenal `Soto Madura’ (ini makanan paling disukai Mas Fauzan). Soto Madura sendiri mulanya diracik oleh peranakan Cina Surabaya namun karena pembantu masaknya orang Madura dan pembantu itu kemudian lepas dari majikannya lalu mempopulerkan masakan itu.

Setelah era soto pada 1880 pada suatu perayaan Cap Go Meh di Semarang, Kong Koan (perkumpulan elite peranakan) mengundang ahli masak-masakan cina untuk berlomba. Bahan dasar yang digunakan itu mian (mie) berbahan dasar tepung terigu dan tepung beras, mifen (bihun), mian xian (misoa), lumian (lomi), guotiao (kwetiau) juga dipake ravioli alias bianshi atau yang kita kenal sebagai Pangsit. Selain bahan berbasis tepung beras lomba itu juga menyajikan perlombaan masak jenis-jenis tim sum (dim sum) seperti ruo bao (bapao), ruo zong (bacang), nunbing (lumpia). Yang memenangkan lomba untuk kategori bahan dasar terigu dan tepung beras adalah peranakan dari Batavia dan pemenang kategori Tim Sum adalah seorang ibu peranakan cina dari Bandung.

Inilah kenapa sebabnya makanan untuk kategori bahan dasar tepung terigu dan beras di kemudian hari dikuasai oleh Jakarta dan Tim Sum yang melahirkan jenis masakan fenomenal bernama Siomay dikuasai Wong mBandung.

Modernisasi masakan Cina ini disaingi oleh gerakan masakan gaya Arab. Pusat makanan bergaya Arab ini ada di Solo dan Semarang tapi yang paling terkenal di Solo. Makanan yang sampai sekarang masih kita nikmati sisa-sisa kejayaan makanan arab dan merakyat adalah Tongseng dan Gulai Kambing. Jago-jago masak tongseng dan gulai kambing ini sendiri bukan keturunan Arab tapi orang-orang Jawa asli dan mereka kebanyakan dari wilayah Karanggede utara Solo dekat Boyolali.

Gerakan masakan Arab yang mundur di tahun 1950-an kemudian digantikan gerakan baru dari masakan Padang. Masakan Padang awalnya berdiri di Senen tahun 1950-an, Wilayah Pasar Senen dulu banyak dihuni pedagang-pedagang dari Minang. Nah karena orang Minang ini pintar-pintar dan tidak hanya berbakat jadi pedagang, mereka juga pandai bersastra dan juga sering maen film. Maka terbentuklah Komunitas Gelandangan Senen.

Komunitas ini bukan sembarang gelandangan tapi lebih pada komunitas seniman. Tokoh seniman dari Minang yang terkenal dan gemar kongkow sambil kadang-kadang jadi tukang catut banyak banget, sebut aja Chairil Anwar, Djamalludin Malik, Sukarno M Noor (Bapaknya Rano Karno), Adam Malik, ada juga kadang2 Tan Malaka datang ke Senen secara incognito karena diburu-buru intelijen Hindia Belanda.

Pada 1950an para gelandangan rata-rata udah jadi orang. Ada Adam Malik , Chairil Anwar, Djamalludin Malik (Lesbumi) dan lainnya. Ketika seniman udah banyak yang jadi orang, tukang-tukang masak Padang juga mulai memperkuat dagangan, awalnya konglomerasi `Salero Bagindo’ dibangun di seputaran Senen, trus hampir seluruh wilayah Jakarta Pusat pada tahun 1970-1980 dikuasai jaringan Salero Bagindo.

Komentar